KONSEP KONSELING


1.    PENGERTIAN KONSELING
a.    Pepinsky and Pepinsky (dalam Burks dan Stefflre, 1979, hlm. 11) menyatakan bahwa “Counseling is a process involving an interaction between a counselor and a client in a private setting, with the purpose of helping (the client change his behavior so that he may obtain a satisfactory resulation of his needs).”
“Konseling adalah suatu proese yang melibatkan interaksi antara konselor dengan konseli dalam keadaan rahasia (privasi), dengan tujuan untuk membantu konseli (konseli melakukan perubahan sikap dan dapat merasa puas dengan hasil yang dibutukannya).”
b.   ASCA (American School Counselor Association) (dalam Yusuf & Nurihsan, 2014, hlm. 8) menyatakan bahwa “Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi masalah-masalahnya”
c.    Shertzer dan Stone (dalam Nurihsan, 2006, hlm. 10) memaparkan bahwa Konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dengan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif prilakunya.

2.    PENGERTIAN EMPATI
a.    Gladding (2012, hlm. 40) mendefiniskan bahwa “Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, meskipun orang lain berbeda sekali dengan dirinya.”
b.   Mundakir (2006, hlm. 120) menyatakan bahwa “Empati adalah pemahaman dan penerimaan terhadap perasaan yang dialami oleh klien, dan kemampuan merasakan dunia pribadi klien.” Tingkat empati yang sangat tinggi: Memperkenalkan diri kepada klien, kepala dan badan membungkuk ke arah klien, adanya kontak mata, tunjukan perhatian, minat, kehangatan melaui ekspresi wajah, dan nada suara konsisten dengan ekspresi wajah.
c.    Sukartini (dalam Supriatna, 2001, hlm. 25) menyatakan bahwa konselor harus mempunyai rasa empati yang tidak posesif. Mampu mengalami dan mengetahui dunia orang lain. Menyadari perjuangan dan penderitaan sendiri, dan mempunyai kerangka pikir untuk mengenal orang lain tanpa kehilangan identitas sendiri. Dalam empati terkadung kepedulian, kehangatan, perhatian positif dan kontrol diri).

3.    PENGERTIAN RESPECT
a.    Wiliis (2009, hlm. 24) menyatakan bahwa menghargai/menghormati klien tanpa syarat adalah syarat utama untuk terjadinya hubungan konseling yang gembira dan terbuka. Penghargaan ini dimaksudkan sebagai upaya konselor memberikan ucapan-ucapan, serta bahasa tubuh yang menghormati.
b.   Menurut Sukartini (dalam Supriatna, 2011, hlm. 22) menyatakan bahwa respek dikatakan juga sebagai upaya konselor untuk menghargai harkat dan martabat konseli serta bersikap demokratis. Konseli memiliki hak asasi yang harus dihargai dan tidak boleh diabaikan serta tidak boleh membeda-bedakan antara konseli satu dengan yang lainnya. Hal ini mengandung arti juga bahwa konselor menerima kenyataan; setiap konseli mempunyai hak untuk memilih sendiri, memiliki kebebasan, kemauan, dan mampu membuat keputusannya sendiri.

4.    PENGERTIAN GENUINENESS
a.    Willis (2009, hlm. 23) menyatakan bahwa “Genuineness/asli yaitu perilaku dan kata-kata konselor tidak dibuat-buat akan tetapi asli dan jujur sesuai dengan keadaannya.”
b.   Ruslan (2013) menyatakan bahwa “Keaslian merupakan kemampuan konselor manyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura-pura, tidak bermain peran, dan tidak mempertahankan diri.”

5.    PENGERTIAN CONCRETENESS
a.    Mudakir (2006, hlm. 128) menyatakan bahwa konkret di sini maksudnya bahwa konselor menggunakan istilah yang khusus dan jelas, bukan abstrak. Hal ini perlu untuk menghindarkan keraguan dan ketidakjelasan selama komunikasi. Sikap ini mempunyai tiga kegunaan:
1)   Mempertahankan respon terhadap perasaan klien
2)   Memberikan penjelasan yang akurat
3)   Mendorong klien memikirkan masalah yang spesifik
b.   Ruslan (2013) memaparkan bahwa kekonkretan menyatakan ekspresi yang khusus mengenai parasaan dan pengalaman orang lain, yang digali lebih dalam dengan  mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi dan konselor harus bisa mencegah konseli melarikan diri dari masalah yang dihadapinya.


Referensi:
Burks, HM. & Stefflre, B. (1979). Theories of counseling: Michigan. McGraw-Hill Book Company
Nurihsan, AJ. (2006). Bimbingan dan konseling dalam berbagai latar kehidupan: Bandung. Rafika Aditama
Yusuf, S. & Nurihsan, AJ. (2014). Landasan bimbingan dan konseling: Bandung. Rosda
Willis, SS. (2009). Konseling individual teori dan praktek: Bandung. Alfabeta
Supriatna, M. (2011). Bimbingan dan konseling berbasis kompetensi: Bandung. Rajawali Pers
Mundakir. (2006). Komunikasi keperawata aplikasi dalam pelayanan: Yogyakarta. Graha Ilmu
Ruslan. (2013). Persyaratan sebagai konselor. [online]. Diakses dari: http://ruslan-bimbingandankonseling.blogspot.co.id/2013/03/syarat-konselor.html

Komentar

Postingan Populer